MASJID SEBAGAI PUSAT PEMBINAAN UMAT

Masjid bagi umat Islam merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dengan kehidupan umat Islam.Masjid bukan hanya sebagai simbul Islam, tetapi sesungguhnya merupakan sarana untuk mewujudkan kemajuan peradaban, kemasyarakatan, dan kerukunan umat Masjid bagaikan jantung bagi tubuh manusia. Sebagai jantung, apabila berfungsi selama 24 jam tanpa berhenti, maka darah segar akan beredar keseluruh organ tubuh, sehingga tubuh menjadi sehat dan kuat untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Sebaliknya, manakala jantung sakit bahkan berhenti, maka tubuh akan mengalami sakit bahkan menimbulkan kematian ( Ahmad Sarwono :2003).
Sejak awal sejarahnya masjid merupakan pusat segala kegiatan masyarakat Islam. Pada awal Rasulullah hijrah ke Madinah maka salah satu sarana yang dibangun adalah masjid. Sehingga masjid menjadi point of development. Masjid menjadi pusat segala kegiatan melahirkan kehidupan islami yang penuh berkah yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Masjid yang kita harapkan adalah masjid yang berfungsi sebagai lembaga mencetak umat yang beriman, beribadah menghubungkan jiwa dengan khaliq, umat yang beramal sholeh dalam kehidupan masyarakat yang berwatak dan berakhlak teguh. Masjid yang hidup, dan memancarkan kehidupan, dan meningkatkan kualitas umat.
Masjid yang memberikan manfaat banyak bagi kehidupan jamaahnya. Bukan hanya tempat sholat. Itulah masjid yang hidup dan menghidupkan, bukan masjid yang bentuk bangunan indah, seperti bangunan cina pakai marmer dan berukir, tapi sekedar berfungsi untuk menyimpan mayat tak bernyawa di dalam-nya.Masjid yang hendak kita bangun adalah masjid yang mampu membentuk jamaah mukminin yang taat kepada Allah, tekun beribadah, yang dalam kasih sayangnya antara satu dengan yang lain ibarat satu badan, apabila salah satu anggota jamaahnya tertimpa suatu penderitaan, maka anggota yang lain serentak mengadakan reaksi, tidak dapat tidur nyenyak. turut merasakan penderitaan saudaranya. Kemudian bersiap sedia memberikan perlindungan, pertahanan dan pertolongan.

PERAN SOSIAL MASJID DI ZAMAN NABI
Selain digunakan untuk tempat melakukan sholat lima waktu, shalat jum’at, sholat tarawih, dan ibadah-ibadah lainnya, masjid juga diguna-kaan untuk kegiatan syiar Islam, tempat pertemuan, tempat bermusyawarah, tempat perlindungan, tempat ke-giatan sosial, tempat pengobatan orang sakit, tempat latihan dan mengatur siasat perang, tempat penerang-an dan pendidikan dan dakwah/pengajian..
Fungsi masjid yang sesungguhnya dapat dirujuk pada sejarah masjid paling awal, yaitu penggunaan masjid pada masa nabi Muhammad SAW, al-Khulafa’ar Rasyidun, dan seterusnya. Pada masa-masa itu masjid paling tidak mem-punyai dua fungsi, yaitu fungsi keagamaan dan fungsi sosial.
Fungsi masjid bukan hanya tempat sholat, tetapi juga lembaga untuk mempererat hubungan dan ikatan jamaah Islam yang baru tumbuh. Nabi Muhammad SAW mempergunakan masjid untuk menjelaskan wahyu yang diterimanaya, memberi-kan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat tentang berbagai masalah, memberi fatwa, mengajarkan agama Islam, membudayakan musyawarah, menyelesaikan perkara – perkara dan perselisihan – perselisihan, tempat meng-atur dan membuat strategi militer, dan tempat menerima utusan-utusan dari semenanjung Arabia.

Masjid Nabawi memiliki suatu ruangan yang disebut suffah, yaitu tempat menyantuni fakir miskin dan tempat tinggal bagi mereka yang ingin mendalami Islam.
Untuk mengatasi masalah sosial, Rasulullah SAW. Dan para sahabat menjadikan masjid sebagai tempat kegiatan sosial, misalnya dengan meng-umpulkan zakat, infaq dan shodaqah, lalu menyalurkannya kepada sahabat yang mem-butuhkannya.
KONDISI MASJID SAAT INI
Kini, masjid nyaris tidak punya kepedulian terhadap kebutuhan jamaahnya. Masjid yang dulu dipergunakan Nabi sebagai pusat perjuangan umat, kini banyak yang difungsikan sekadar sebagai tempat ibadah ritual mahdoh. Masjid kini baru mampu menganjurkan suatu kebaikan tapi tak mampu mewujudkannya. Umat sibuk mencari dana untuk membangun dan memegahkan masjid, tetapi tak mampu membantu jamaahnya memenuhi kebutuhan hidup dan ibadahnya.
Tugas kita kemudian adalah bagaimana kita bisa mengembangkan fungsi masjid sekarang ini sebagaimana yang telah dilakukan rasulullah bersama para sahabatnya, yang mampu menjadi mediator dan sekaligus sebagai fasilitator pemberdayaan umat.

MEMBANGUN MODAL SOSIAL UMAT
Beberapa krisis yang dialami masjid dewasa ini, seperti kriris kepengurusan, krisis keterlibatan jamaah maupun krisis keuangan, sebenarnya disebabkan terjadinya krisis kepercayaan. Sedangkan, krisis kepercayaan muncul karena kita kurang merawat dan memanfaatkan kalau tidak boleh dibilang mengabaikan terhadap modal sosial yang begitu besar dianugerahkan Allah kepada .
Para tokoh agama, para nadlir dan para pengurus masjid selama ini, pemahamannya terhadap modal begitu terpaku pada modal ekonomi atau finansial ( financial capital ). Sehingga kita baru merasa memiliki modal kalau uang yang terkumpul berjumlah banyak. Pada hal ada banyak modal lain yang dapat kita kembangkan untuk memberdayakan masjid. Bentuk modal lain yang dapat kita kembang itu , seperti modal manusia, modal intelektual jamaah, modal kultural atau budaya dan juga modal soasial .
Modal manusia, misalnya dapat meliputi keterampilan atau kemampuan yang dimiliki orang untuk melaksanakan tugas tertentu. Tentu di dalam jamaah masjid, banyak terdapat jamaah kita yang secara individula memiliki kemampuan atau keterampilan tertentu untuk membantu pengurus menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Kita perlu mendatanya, menganalisanya untuk kita ajak bersama berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk kemaslahatan bersama. Dan kalau ini kita lakukan, insya Allah jamaah yang bersangkutan akan lebih merasa dilibatkan ( di ewongke ), dihargai, diperhatikan sehingga lebih memiliki tanggungjawab untuk turut memakmurkan masjid.
Modal intelektual mencakup kecerdasan atau ide-ide yang dimiliki manusia untuk mengartikulasikan sebuah konsep atau pemikiran. Dewasa ini tingkat pendidikan jamaah masjid kita tentu jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Kondisi yang demikian, tentu amat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hasil interaksi antara jamaah dengan jamaah atau musyawarah antara jamaah dan pengurus. Persoalanya adalah bagaimana pengurus atau takmir masjid memfasilitasi terjadinya interaksi dan musyawarah jamaah itu menjadi lebih berkualitas dan produktif.
Modal kultural meliputi pengetahuan dan pemahaman komunitas terhadap terhadap praktek dan pedoman hidup dalam masyarakat. Modal kultural dapat berbentuk adat kebiasaan, kesenian atau tradisi yang hidup dalam komunitas jamaah. Ibarat kendaraan, modal kultural dapat dipergunakan sebagai kendaraan untuk melakukan aktivitas jamaah masjid, tidak usah membentuk wadah baru. Sehingga aktivitas yang dijalankan mudah tersosialisasikan dan lebih tertanam dalam jiwa setiap warga jamaah masjid.
Sedangkan Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Untuk menghadapi masalah tersebut, diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan. Modal sosial menurut pencetusnya Lyda Judson Hanifan ( Hanifan: l916) bukanlah modal dalam artian biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Hanifan, dalam modal sosial dapat berupa kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial. Sedangkan menurut Piere Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kenamaan, mengemukakan bahwa untuk memahami berfungsinya struktur dan berfungsinya dunia sosial membangun kesejahteraan sosial) perlu dikaji seluruh modal dalam segala bentuknya, tidak cukup modal ekonomi saja. Menurutnya, dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berupa modal budaya dan modal sosial. Bourdieu, mendefinisikan modal sosial adalah keseluruhan sumberdaya baik aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui. Dengan kata lain, seseorang dengan menjadi anggota dari suatu perkumpulan atau organisasi akan memperoleh dukungan dari modal yang dimiliki secara kolektif.
Sedangkan besarnya modal sosial yang diperoleh seseorang yang menjadi anggota perkumpulan tersebut, tergantung pada seberapa besar kuantitas maupun kualitas jaringan yang diciptakan-nya, serta seberapa besar volume modal ekonomi, budaya dan sosial yang dimiliki setiap orang yang ada dalam jaringan tersebut (Bourdieu: 1986). Dengan demikian, seperti halnya modal ekonomi, modal sosial juga bersifat produktif. Tanpa adanya modal sosial seseorang tidak akan bisa memperoleh keuntungan material dan mencapai keberhasilan secara optimal.Tetapi seperti juga modal ekonomi, modal fisik, modal manusia, modal sosial juga tidak selalu memberi manfaat dalam segala situasi, bahkan bisa menimbulkan kerugian ( down side social capital ) . (Coleman, l990).
Jame Coleman ( l988), berdasarkan hasil-hasil penelitiannya mengemukakan, bahwa pengertian modal sosial ditentukan oleh fungsinya.Sekalipun fungsi modal sosial itu banyak, tetapi menurutnya, fungsi modal sosial itu memiliki dua unsur : Pertama; Modal sosial mencakup sejumlah aspek struktur sosial, dan Kedua; Modal sosial memberi kemudahan bagi orang untuk melakukan sesuatu dalam kerangaka struktur sosial tersebut. Dalam rangka memudahkan tercipta dan berkembangnya modal sosial dalam berbagai bentuknya, Coleman memberi penekanan pada dua aspek dari struktur sosial yang sangat penting. Pertama; aspek struktur sosial dalam jaringan tersebut dapat menciptakan pengungkungan yang membuat setiap orang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga kewajiban-kewajiban maupun sanksi-sankai dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota jaringan tersebut. Kedua; adanya organisasi sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan bersama.
Ada tiga unsur utama yang menjadi pilar modal sosial :
a. Kewajiban dan harapan yang timbul dari rasa saling percaya dalam lingkungan sosial.
b. Arus informasi yang lancar di dalam struktur sosial untuk mendorong berkembangnya kegiatan dalam masyarakat.
c. Adanya norma-norma yang harus ditaati dengan sanksi yang jelas dan efektif. Tanpa adanya seperangkat norma yang disepakati dan dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat maka yang muncul adalah anomie dimana setiap orang berbuat menurut kemauan sendiri tanpa merasa ada ikatan dengan orang lain. Juga tidak ada mekanisme mejatuhkan sanksi karena tidak ada norma yang disepakati bersama.
Dengan demikian menurut Colemen, pengembangan modal sosial pada dasarnya adalah membangun ketiga pilar tersebut.
Definisi yang paling mudah dipahami masyarakat luas tentang konsep modal sosial adalah definisi yang dikemukakan Robert Putman. Bagi Putman, modal sosial adalah merupakan seperangkat hubungan horizontal antara orang-orang. Modal sosial terdiri dari “ networks of civic engagements ” jaringan keterikatan sosial yang diatur oleh norma-noma yang menentukan produktivitas suatu kelompok masyarakat . Ada dua asumsi dasar dari konsep modal sosial yaitu, adanya jaringan hubungan dengan norma-norma terkait, dan adanya sikap saling mendukung dari orang-orang yang tergabung dalam jaringan tersebut untuk mencapai keberhasilan bersama.
Dari hasil penelitiannya, Putman berkesimpulan, modal sosial yang berupa norma-norma dan jaringan keterkaitan adalah merupakan prasyarat bagi berkembangnya ekonomi dan juga bagi terciptanya tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Untuk hal ini ada tiga alasan yang dikemukakan:
1. Dengan adanya jaringan sosial memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya diantara sesama anggota masyarakat.
2. Kepercayaan ( trust ) memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam suatu jaringan, yang orang-orangnya memiliki rasa saling percaya ( mutual trust ) akan memperkuat norma-norma untuk saling membantu.
3. Berbagai keberhasilan yang dicapai melalui kerjasamadalam waktu sebelumnya akan mendorong keberlangsungan kerjasama pada waktu selanjutnya. Bahkan lebih jauh Putman mengatakan modal sosial dapat menjembatani jurang pemisah antara kelompok-kelompok yang berbeda idelogi dan memperkuat kesepakatan – kesepakatan tentang pentingnya pember-dayaan masyarakat.

Memahami konsep modal sosial sebagaimana tersebut di atas, maka dalam jamah masjid terkandung modal sosial yang cukup besar. Modal sosial jamaah masjid timbul dari hasil interaksi antar jamaah dan lingkungan sosial komunitas masjid. Interaksi itu dapat terjadi dalam skala individual maupun institusional ( kemasjidan ). Secara pribadi interaksi masing-masing jamaah terjadi manakala relasi intim antara jamaah satu dengan jamaah lainnya terbentuk kemudian melahirkan ikatan emosional sebagai sesama jamaah masjid.
Sedangkan secara institusional, interaksi masjid dapat terbangun manakala visi, misi dan tujuan masjid, memiliki kesamaan dengan visi, misi serta tujuan dari organisasi, kelompok-kelompok sosial yang ada di lingkungan masjid.
Interaksi yang berlangsung realtif lama, akan melahirkan modal sosial, yaitu kesamaan tujuan, menumbuhkan rasa saling percaya, rasa aman dan kerja sama berbagi hak dan kewajiban sebagai tanggung jawab bersama yang dilakukan atas dasar kesadaran dan keikhlasan bertindak. Jika jamaah dan lingkungan sosial masjid telah terbangun modal sosial yang sedemikian itu secara cukup kuat, rasanya tak ada perbedaan dan permasalaan yang tidak teratasi, karena energi sosial yang mikili menjadi berlipat-lipat besarnya. Bagaimana energi sosial ini terbangun akan kita bicarakan di bagian lain tulisan ini.

Parameter Modal Sosial Jamaah Masjid

Sebagaimana bentuk-bentuk modal lainnya modal sosial juga bersifat produktif. Di muka telah dijelaskan modal sosial jamaah muncul sebagai produk relasi jamaah satu dengan jamaah lainnya atau institusi masjid dengan lingkungan sosialnya, khususnya relasi – interaksi yang diakukan secara intim familier dan konsisten akan melahirkan produktivitas sosial. Produktivitas sosial adalah kesepakatan-kesepakatan bersama yang dihasilkan untuk mencapai tujuan bersama.
Modal sosial berbeda dengan modal finansial, karena modal sosial bersifat komulatif dan bertambah dengan sendirinya ( self- reinforcing ) ( Putnam,1993 ). Modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, sebaliknya rusaknya modal sosial lebih sering diakibatkan karena jarangnya dipergunakan.
Ada tiga paramater apakah jamaah masjid memiliki modal sosial kuat atau lemah. Tiga modal sosial itu sebagaimana dikemukakan ( Ridell:1977 ). yaitu kepercayaan ( Trust ), norma-norma ( norms) dan jaringan ( network ).

1. Kepercayaan :
Kepercayaan adalah harapan yang tumbuh dalam masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan norma-norma bersama. Dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif, hubungan jamaah satu dengan jamaah lainnya bersifat kerjasama, tidak saling mengungkap kejelekan, tidak saling menistakan apalagi mencelakakan, ikatan kejamaahannya kokoh, kehidupan sosial masing-masing anggota jamaah harmonis dalam arti masing-masing jamaah dapat menjalankan status peran sosialnya ( pemimpin, yang dipimpin, yang tua dan yang muda , orang tua dan anak, suami dan istri dll. ) dengan baik.
2. Norma
Norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang termasuk kelompok jamaah masjid. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-satandar yang disepakati secara rasional seperti kode etik profesional. Norma – norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama ( Putman, l993; Fukuyama, l995 dalam Edi Suharto, 2007 ).
Bagi jamaah masjid, norma-norma dibangun berdasarkan nilai-nilai agama Islam dan norma-norma yang disepakati yang sering disebut dengan ahlak. Sehingga kuat lemahnya modal sosial jamaah masjid juga dapat diukur dari tinggi rendahnya ahlak para jamaahnya. Kalau secara kolektif ahlak jamaah di suatu masjid itu baik-baik, maka dapat dipastikan modal sosial yang dimiliki kelompok jamaah itu kuat, begitu sebaliknya.

3. Jaringan
Dalam komunitas jamaah masjid, biasanya terdiri dari banyak komunitas-k omunitas kecil. Seperti majlis taklim, kelompok pengajian, kelompok tahlil, yasinan , kajian malam jum’at, lailatul ijtima’ dll. Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia ( Putman,l993). Sehingga untuk mengukur kuat lemahnya jamaah masjid dapat dilihat juga dari fungsi dari kelompok – komunitas-komunitas yang ada apakah berfungsi untuk memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling percaya dan memperkuat kerjasama ( ta’awun ) dan ukhuwah .
Dalam realitas yang kita amati tidak jarang komunitas keagamaan seperti itu, gagal menanamkan sikap saling percaya, kerjasama ( ta’awun ) dan ukhuwah. Mereka para anggota jamaah datang dan pergi mengucapkan salam dan berjabat tangan, tapi hatinya jauh. Sehingga pertemuan rutin yang ia jalani tak menghasilkan produk sosial apapun, kecuali harapan mendapatkan syurga di kehidupan kelak. Sikap ini yang menyebabkan komunitas jamaah keagamaan, miskin kreatifitas dan enovasi, dari dulu hingga sekarang tak ada perubahan apapun, kurang memiliki kepekaan terhadap dinamika dan permasalahan umat. Kemudian tersadar kalau kita memang tidak berdaya, miskin modal.
Masyarakat yang sehat, jamaah yang sehat, perkumpulan komunitas keagamaan yang sehat, jamaah masjid yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh dan fungsional ( bermakna ) dalam menghadapi realita kehidupan. Mereka sadar dan melakukan pertemuan dengan orang lain untuk membangun inter-relasi yang kental, baik yang bersifat formal maupun non formal untuk memperkuat sikap saling percaya dan perasaan kerjasama para anggotanya serta memberikan manfaat yang besar bagi sesama terutapi yang berpatisipasi di dalamnya.
Dengan menggunakan indikator kunci yang dijadikan ukuran modal sosial ( Speller, 1977, Suharto, 20006 b ), maka modal sosial jamaah masjid dapat diukur dengan menggunakan parameter sebagai berikut :

Perasaan identitas
Perasaan memilki atau sebaliknya, perasaan alienasi
Sistem kepercayaan dan idologi
Nilai-nilai dan tujuan-tujuan
Ketakutan-ketakutan
Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat
Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas ( misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan , keseharian, transportasi, jaminan sosial )
Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu
Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya
Tingkat kepercayaan
Kepuasan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya
Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan.

Tinggalkan komentar